Kamis, 12 April 2012

SI Tou Timou Tumou Tou dalam adat Batak | Sepotong refleksi tentang manusia memanusiakan manusia lain

Saya lahir dalam kehidupan Batak tulen dan sangat senang menjadi bagian di dalamnya. Saya tidak chauvinis, hal seperti itu sangat konyol dalam kehidupan multietnis di Kalimantan Barat yang sangat saya cintai ini. jadi saya senang memperhatikan adat Batak sementara merenung bagaimana kehidupannya.

Saya pernah ke Manado dan saya ingat betul tulisan yang saya temui pertama selain plang Bandara Sam Ratulangi, yaitu tulisan yang ada dibalik plang nama bandara tersebut. SI TOU TIMOU TUMOU TOU. Sebuah slogan dari slah satu bapak bangsa ini, Sam Ratulangi.  Simple mean is nggak ada artinya hidup jika kita nggak memberikan manfaat bagi sesama, lingkungan ataupun kehidupan ini. 
Manusia hidup untuk memanusiakan manusia lain.
Berbicara dengan adat Batak (dalam hal ini Batak Toba) ada sebuah sebutan atau gelar bagi orang yang sudah meninggal. Sari Matua, SaurMatua dan Maulibulung. orang sering bertanya-tanya kenap orang Batak bisa-bisanya manortor (menari) saat berbelasungkawa, tapi saya akan menjelaskan dulu pengertian dari gelar-gelar tersebut.
Sari Matua adalah gelar bagi orang yang sudah meninggal dan ada anaknya yang sudah menikah. hal ini sesuai dengan tiga moto standar hidup orang Batak : Hamoraon (Kekayaan), Hagabeon ( Anak pnerus keturunan) dan Hasangapon (Nama Baik). Saurmatua diberikan apabila semua anak/keturunan orang yang meninggal itu telah menikah dan Maulibulung adalah gelar tertinggi, yaitu ia meninggal saat keturunan yang sampai cicit, semua anaknya masih dalam hidup. Lantas apa kaitannya hal ini dengan "Manusia Hidup Untuk Memanusiakan Manusia Läin?"
Secara sempit kita akan mengatakan bahwa proses "Manusia Hidup untuk memanusiakan manusia lain" nampak dari bagaimana anaknya bisa berhasil karena melaksanakan ketiga adat diatas juga membutuhkan daya dan dana yang cukup besar. Namun, tahukan kalian bahwa sebenarnya gelar tersebut sulit untuk disetujui oleh para Raja di  martonggo raja (sejenis pertemuan yang membahas bagaimana prosesi adat)  jika orang yang meninggal itu tidak memiliki nama baik  sesuatu yang "berkesan" atau ""berarti" bagi orang-orang yang disekitarnya khususnya bagi masyarakatnya sesama Batak. Gelar itu bukan sebatas gelar kurasa, tapi lebih dari itu, Orang Batak harus meninggalkan sesuatu yang memberi rasa dan menjadi terang bagi sesamanya (koneksi kuat dengan isi Alkitab di Injil Yohanes mengenai garam dan terang). Misal yang meninggal adalah seorang ayah, adat tersebut tak mungkin terlaksana apabila anaknya atau keturunannya yang melaksanakan adat itu tidak memiliki rasa kasih pada ayahnya yang telah berhasil membesarkannya hingga ia memiliki daya untuk melaksanakan adat tersebut. Kenapa kita jauh-jauh ingin "Memanusiakan" manusia lain sementara anak sendiri tidak kita "manusiäkan? Dalam martonggo raja pun akan terjadi beberapa interupsi dan bila yang meninggal bukanlah orang yang cukup dikenal, atau memiliki nama baik, dapat terjadi perdebatan yang alot.  Intinya, ketika anda meninggal, jangan sampai "nama" pun tak tertinggal saking anda tidak memiliki manfaat bagi sesama dan lingkungan anda. 
Indah sekali bukan mengetahui bahwa diantara pluralisme kita, kita memiliki kesamaan untuk saling membangun. Mari menjadi manusia yang memanusiakan manusia lain  :)


You are the salt of the earth, but if salt has lost its taste (its strength, its quality), how can its saltness be restored? It is not good for anything any longer but to be thrown out and trodden underfoot by men. (Mat 5:13).


 Let your light so shine before men that they may see your moral excellence and your praiseworthy, noble, and good deeds and recognize and honor and praise and glorify your Father Who is in heaven. (Mat 5:16)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar